03 Agustus 2012

Komplain sebagai Masukan Positif dari Customer



Di dalam warna hitam ada warna putih dan sebaliknya di dalam warna putih juga ada warna hitam. Tergantung pada apa yang kita perhatikan atau fokuskan. Demikian juga dengan komplain dari customer, kalau ada banyak komplain itu juga berarti atau menandakan bahwa customer kita masih ada dan loyal serta menginginkan perubahan yang lebih baik.

Paradigma tradisional
Pandangan tradisional yang menyatakan bahwa komplain pelanggan atau customer adalah sesuatu yang harus dihindari atau pertanda “kiamat” bagi organisasi ternyata tidak berlaku pada masa sekarang ini. Terlebih lagi dalam industri jasa, sifat-sifat jasa menyebabkan “value” yang diberikan kepada pelanggan tidak mudah untuk distandardisasi. Oleh karena itu, komplain customer tidak lebih hanya sebagai cara lain untuk melakukan pemberian “value” tersebut. Justru dengan adanya komplain customer bisa menghasilkan informasi bagi organisasi, dan bisa digunakan sebagai alat untuk memonitor bagi efektivitas program customer service.Namun sayangnya banyak pelanggan atau customer yang memilih untuk tidak mau menyampaikan komplain. Salah satu penyebabnya ternyata berasal dari sikap karyawan front liner yang bersikap defensif terhadap komplain customer. Sikap tersebut muncul sebagai bagian dari kultur organisasi yang resistence terhadap komplain customer. Komplain customer dipersepsikan sebagai sebuah kegagalan pelayanan.Sebagusnya service tetap saja ada komplain.
Oleh karena itu diperlukan sebuah perubahan pola pikir. Pola pikir tradisional harus diganti dengan pola pikir bahwa komplain customer adalah kesempatan bagi organisasi untuk melakukan pemulihan jasa (service recovery). Sekali lagi komplain adalah hadiah dari pelanggan atau customer, masukan positif dan bukan ancaman.

Mengapa Customer  diam?
Sebuah penelitian membuktikan bahwa hanya sedikit sekali dari pelanggan atau customer yang tidak puas yang mau memberi komplain kepada organisasi. Sisa lainnya, “vote with their feet”, dan selebihnya tidak akan kembali lagi ke organisasi. Selanjutnya customer yang tidak puas secara tipikal akan menceritakan pengalaman tersebut kepada delapan sampai sepuluh orang dengan cara dari mulut ke mulut.Jadi customer yang komplain dari keseluruhan populasi customer yang tidak puas merupakan jumlah yang sangat kecil. Salah satu penyebab customer tidak mau komplain adalah: sulitnya untuk melakukan komplain. Sebab untuk melakukan komplain customer harus mengungkapkan emosinya. Problem umumnya karena manusia cenderung sulit untuk berbagi perasaan pada orang lain, kecuali jika customer sudah memiliki hubungan yang cukup dekat dengan staf organisasi. Yang mengejutkan, bahkan di negara yang sudah maju sekalipun, kultur yang ada ternyata tidak memberi nilai yang tinggi pada “revealing feelings”. Untuk dapat mengekspresikan komplain, customer membutuhkan “comfortable ways” tidak bisa terjadi begitu saja dan atau asal saja. Alasan kedua, karyawan atau staf organisasi tidak mendorong munculnya komplain atau feedback dari customer. Hal ini terjadi karena banyak karyawan yang memiliki masalah dengan “hearing a complain as feedback”. Meskipun mereka mau mendengarkan komplain atau feedback, akan tetapi karyawan mempersepsikan hal tersebut sebagai sebuah ”serangan” pada self-esteem mereka. Karyawan tidak mampu membedakan komplain customer sebagai isu yang berhubungan dengan pekerjaan dan bukan isu siapa mereka sebenarnya.
Dengan demikian, kapabilitas untuk mendengarkan dan belajar dari komplain merupakan keterampilan yang harus dikembangkan oleh setiap karyawan, terutama karyawan front-liner. Mengurangi komplain secara tradisional disamakan dengan meningkatkan layanan. Sebab, diasumsikan kalau tidak ada customer yang komplain berarti layanan yang diberikan minimal sudah sesuai dengan keinginan mereka. Faktanya, justru cara paling baik untuk membangun kultur customer-focused adalah melalui peningkatan komplain. Memang dengan adanya komplain merupakan sebuah pertanda adanya ketidakpuasan. Apabila hal tersebut tidak ditindaklanjuti, customer akan pindah ke pemasok dan atau merek produk atau jasa yang lain. Akan tetapi yang paling berbahaya adalah, customer tidak melakukan tindakan apapun kepada organisasi. Secara diam-diam mereka “menghukum” organisasi dengan cara “pindah” ke organisasi yang lain, organisasi yang mereka pandang akan memberikan kepuasan kepada mereka. Adanya perilaku “switching” secara diam-diam ini menyebabkan organisasi tidak memiliki kesempatan untuk mempertahankan customernya. Organisasi tidak memiliki informasi apapun mengenai mengapa mereka tidak puas dan tidak mau menyampaikan komplain.

Silahkan Komplain  
Cara tercepat untuk mengembangkan kultur customer-focused adalah dengan menghasilkan komplain itu sendiri. Untuk itu organisasi dapat memulainya dengan mengkomunikasikan kepada karyawan kebutuhan untuk membentuk hubungan (relationships) dengan customer, Bahwa pelanggan atau customer adalah sebagai mitra (partners). Jadi, menjadi tugas karyawan untuk memfasilitasi agar setiap customer mau mengekspresikan komplain mereka. Karyawan sebagai ujung tombak perusahaan, yang secara langsung berhubungan dengan customer, merupakan titik kritis untuk meningkatkan jumlah komplain. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain, Organisasi perlu menolong karyawan agar memandang komplain sebagai sebuah kesempatan. komplain hanyalah sebuah cara lain untuk melakukan sesuatu – bukan masalah baik atau buruk, benar atau salah.
Memperkuat kultur organisasi agar mempersepsikan komplain sebagai kesempatan. Sebagai contoh: setiap karyawan ditantang untuk melihat berapa jumlah komplain yang dapat mereka kumpulkan dalam waktu satu minggu; para penyelia (supervisor) menilai prestasi bawahannya dengan menggunakan jumlah komplain sebagai salah satu variabelnya. Pelanggan atau customer akan berbicara ketika mereka merasakan adanya kemauan untuk mendengarkan – ketika  terdorong untuk merespon. Daripada membuat sapaan kepada pelanggan atau customer yang bersifat retoris, lebih baik membuat sapaan yang mendorongnya untuk menjawab. Organisasi dapat mendorong karyawan untuk menuliskan isu-isu tentang customer. Kalau isu tersebut tidak bisa direspon dengan segera, berilah jaminan untuk meresponnya dalam waktu 48 jam. Kalaupun isu tersebut benar-benar tidak dapat dicari jalan keluarnya, organisasi tetap berhutang pada respon customer tersebut.

Masukan positif
Tidak mengherankan bila komplain customer semakin mendapat perhatian dari setiap organisasi. Komplain customer bisa menghasilkan informasi bagi organisasi, dan secara khusus dapat digunakan alat pemonitor bagi efektivitas program customer service. Perlu diketahui bahwa biaya untuk mendapatkan customer baru 5(lima kali) lebih mahal daripada mempertahankan 1(satu) customer yang sudah ada. Jadi, lebih baik memuaskan kembali customer yang mengalami masalah atau komplain, daripada mendapatkan customer baru. Selain itu, hasil penelitian membuktikan bahwa perlakuan yang tepat pada customer yang komplain akan membuat mereka jauh lebih puas (bahkan sampai tahap delight) dan loyal dibanding dengan customer yang tidak menyampaikan komplain.
Oleh karena itu, apabila ada pelanggan atau customer yang komplain, situasi ini memberi kesempatan kepada organisasi untuk melakukan pemulihan jasa (service recovery). Pada saat ini, pemulihan jasa telah menjadi komponen utama dari keseluruhan pemberian jasa (overall service delivery). Pelanggan atau customer yang komplain bisa berubah menjadi customer yang loyal apabila organisasi dapat menangani komplain tersebut dengan sebaik-baiknya
Penulis adalah praktisi bisnis

Sumber: mditrac.co.id

0 komentar:

Posting Komentar